Indonesia mulai menapaki tahun bonus demografi. Tahun yang
dinanti-nanti. Sebab pada momentum inilah Indonesia tidak boleh alpa.
Bonus demografi bisa berari berkah jika kita berhasil mengelolanya,
namun juga sebaliknya, ia bisa bisa bermakna bencana jika kita tidak
berhasil maramu dan menghadapinya, sebagaimana yang terjadi pada Afrika
selatan dalam kurun waktu 1960-2000.
Bonus demografi adalah momentum di saat 100 orang yang berusia
produktif (15-16 tahun) menanggung kurang dari 50 orang dengan usia yang
sudah tidak produktif. Di Indonesia sendiri diperkirakan mengalami
puncak momentum bonus demografi pada kurun tahun 2028-2031. Pada kurun
tahun itu 100 orang usia produktif menaggung 4,9 orang dengan usia tidak
produktif lagi.
Setidaknya, ada tiga syarat utama untuk memeroleh keberkahan bonus
demografi, yakni dengan cara investasi di bidang pendidikan, kesehatan,
dan juga lapangan kerja. Ketiga aspek tersebut sesungguhnya adalah aspek
primer yang menjadi basic need kehidupan sehari-hari manusia.
Pada tulisan singkat ini saya ingin berkonsentrasi pada bidang
pendidikan dalam bingkai merespon bonus demografi. Sebab, bagaimanapun
juga pendidikan adalah tulang punggung utama serta tonggak kemajuan
sebuah bangsa.
Sampai saat ini pendidikan memang sudah mendapat alokasi 20 persen
dana APBN. Alokasi anggaran yang bisa dibilang lumayan. Namun, dengan
besaran dana seperti itu tidak berarti langsung menjamin meningkatnya
kualitas pendidikan kita. Ada banyak persoalan yang masih menghiasi
dunia pendidikan. Terutama sekali adalah soal implementasi pendidikan
karakter.
Sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pendidikan nasional yang
dituangkan dalam UU no 20 tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didikagar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berkahlak mulia, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dari tujuan yang panjang tersebut sesungguhnya bisa kita sarikan dan
ringkas, secara herarkis menurut saya, menjadi tiga tujuan besar saja
yakni: berimlu, bertkwa, dan juga berakhlak mulia. Adapun selain ketiga
sifat dan sikap di atas, sesungguhnya hanya merupakan derivat dari
sikap fundamental yang tiga itu saja.
Lalu apakah peserta didik kita hari ini sudah mampu memenuhi ketiga
kriteria yang termaktub dalam tujuan pendidikan nasional tersebut?
Pertanyaan ini penting kita urai untuk bisa mengukur tingkat
keberhasilan tujuan pendidikan dan untuk lebih jauh lagi dalam rangka
merespon bonus demografi.
Pertama aspek ilmu. Aspek ini menurut saya merupakan motif utama
tujuan orang dalam menempuh pendidikan. Ilmu yang saya maksud di sini
bukanlah dalam pengertian ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu ilmu
yang merupakan “kelanjutan sikap” yang didasarkan pada pengetahuan itu
sendiri.
Katakanlah sebagai ilustrasi, untuk sebilah pedang, data mengenai
bahan pembuatan, tahun pembuatan, tingkat ketebalan serta siapa saja
yang pernah terhunus olehnya adalah pengetahuan yang berisi seperangkat
data mengenai pedang itu sendiri. Adapun ilmu adalah tindakan atas
pedang yang diambil oleh seorang yang berpengetahuan tadi. Pedang
tersebut mau bermanfaat atau bermudarat, tergantung ilmu yang dimiliki
oleh pemilik pedangnyanya.
Persoalnnya kemudian adalah nyatanya sampai hari ini kita masih kabur
dalam mendefnisikan apa yang dimaksud dengan ilmu itu sendiri. Hal itu
terbukti dengan misalnya ukuran pintar dan tidaknya peserta didik dalam
dunia pendidikan hari ini masih menggunakan penilaian yang sifatnya
pengukur pengatuan, bukan ilmu. Labih dominan mengukur kognisi
dibandingkan afeksi atau bahkan psikomotor.
Kealpaan dalam memaknai ilmu yang hanya diartikan sebagai sebatas
pengetahuan tersebut membuat fenomena yang kita temukan hari ini yang
melanda peserta didik menjadi lumrah adanya. Corat-corat, pesta bikini,
dan juga sejumlah tindakan dekaden lainnya.
Kedua pada aspek ketakwaan. Istilah takwa dalam kamus diartikan
sebagai terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya (KBBI: 2008). Beralaskan dari
pengertian tersebut bisa dikatakan bahwa perwujudan takwa adalah sikap
ketertundukan dalam menjalankan peritah Tuhan dan menjauhi segala
larangan. Artinya takwa adalah dimensi afeksi dan psikomotor.
Parameter untuk mengukur sikap ketakwaan seorang sesungguhnya bisa
dilihat dari sikap dan perilakunya (akhlak mulia). Bagaimanapun juga
akhlak mulia, yang merupakan keturunan sah dari sikap ketakwaan adalah
alat yang paling sah untuk mengukur sikap ketakwaan.
Urgensi Pendidikan Karakter
Banyak persoalan yang harus segera kita selesaikan dalam rangka
menyembut momentum bonus demografi terutama dalam bidang akhlak dan
perilaku ini. Nah pada momen seperti inilah sesungguhnya kita menyadari
betapa pentingnya pendidikan karakter.
Thomas Lickona (2013) dalam Educating for Character mengatakan bahwa pendidikan karakter bertujuan agar peserta didik memiliki moral action,
bukan hafalan definisi tentang moral, namun lebih kepada tentang
bagaimana nilai moral tersebut muncul dalam perilaku. Untuk mencapai
tahapan moral action peserta didik harus melewati tahapan moral knowing (pengethauan akan moral) dan moral feeling (kedasaran akan moral) terdahulu.
Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa setidaknya ada lima tanda
kehancuran sebuah bangsa yang berdampak pada karakter peserta didik.
Pertama, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, penggunaaan
bahasa dan kata-kata yang buruk. Ketiga, pedoman moral baik dan buruk
semakin kabur. Keempat, etos kerja menurun. Kelima, ketidakjujuran dan
rasa saling curiga antara sesama semakin membudaya.
Lima tanda yang diungkapkan oleh Lickona tersebut sampai hari ini
masih banyak kita temui menghiasi dunia pendidikan Indonesia. Oleh
karenanya dalam momentum menyambut bonus demografi ini revitalisasi
pendidikan karakter adalah persoalan yang tidak bisa dikesampingkan
adanya jika kita tidak ingin keberkahan bonus demografi ini menjadi
sesuatu yang sia-sia belaka atau bahkan malah menjadi bencana.
sumber
Belum ada tanggapan untuk "Pendidikan Karakter"
Post a Comment